HUBUNGAN
PELAKSANAAN KERJA DAN KEPUASAN KERJA
Seorang
pekerja yang masuk dan bergabung dalam suatu organisasi, institusi maupun
perusahaan mempunyai seperangkat keinginan, kebutuhan , hasrat dan pengalaman
masa lalu yang menyatu dan membentuk suatu harapan yang diharapkan dapat
dipenuhi di tempatnya bekerja. Kepuasan kerja ini akan didapat apabila ada
kesesuaian antara harapan pekerja dan kenyataan yang didapatkan ditempat
bekerja. Persepsi pekerja mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya
dan kepuasan kerja melibatkan rasa aman, rasa adil, rasa menikmati, rasa
bergairah, status dan kebanggaan.
Keyakinan
bahwa karyawan yang terpuaskan akan lebih produktif daripada karyawan yang tak
terpuaskan merupakan suatu ajaran dasar diantara para manajer selama
bertahun-tahun (Robbins, 2001:26).
Menurut Strauss dan Sayles dalam Handoko (2001:196)
kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi, karyawan yang tidak memperoleh
kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis, dan pada
gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan yang seperti ini akan sering
melamun, mempunyai semangat kerja yang rendah, cepat lelah dan bosan, emosi
tidak stabil, sering absen dan melakukan kesibukan yang tidak ada hubungannya
dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Sedangkan karyawan yang mendapatkan
kepuasan kerja biasanya mempunyai catatan kehadiran dan perputaran kerja yang
lebih baik, kurang aktif dalam kegiatan serikat karyawan, dan kadang-kadang
berprestasi bekerja lebih baik daripada karyawan yang tidak memperoleh kepuasan
kerja. Oleh karena itu kepuasan kerja mempunyai arti penting baik bagi karyawan
maupun perusahaan, terutama karena menciptakan keadaan positif di dalam
lingkungan kerja perusahaan.
Peningkatan kepuasan kerja karyawan pada suatu organisasi tidak bisa dilepaskan dari peranan pemimpin dalam organisasi tersebut, kepemimpinan merupakan kunci utama dalam manajemen yang memainkan peran penting dan strategis dalam kelangsungan hidup suatu perusahaan, pemimpin merupakan pencetus tujuan, merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan dan mengendalikan seluruh sumber daya yang dimiliki sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Kepemimpinan manajerial dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengarahan dan pemberian pengaruh pada kegiatan-kegiatan dari sekelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya (Handoko, 2001 : 291). Oleh sebab itu pemimpin suatu organisasi perusahaan dituntut untuk selalu mampu menciptakan kondisi yang mampu memuaskan karyawan dalam bekerja sehingga diperoleh karyawan yang tidak hanya mampu bekerja akan tetapi juga bersedia bekerja kearah pencapaian tujuan perusahaan.
Setiap karyawan memiliki keinginan untuk
mengimplementasikan pengetahuan, keahlian dan pendidikan yang didapatkan
sebelumnya kepada perusahaan dimana mereka bekerja. Jika mereka tidak mampu
mengaplikasikannya, mereka akan menjadi tidak puas dan pada akhirnya akan
mempengaruhi lama bekerja (length of employment), hal ini bisa dikaitkan dengan
loyalitas karyawan. Jika karyawan dihargai secara adil sesuai dengan prestasi
kerjanya maka mereka akan merasa nyaman dalam bekerja dan tidak memiliki
tendensi untuk berpindah pekerjaan di tempat lain (Siehoyono, 2004).
Menurut
Miller (1991), kepuasan karyawan adalah suatu ukuran kepuasan dari tiap
personel dengan peran yang berbeda dalam organisasi dan meliputi keterlibatan
perusahaan (company involvement), keuangan dan status kerja (financial dan job
status), dan kepuasan kerja intrinsik (intrinsic job satisfaction).
v
Hubungannya dapat
dilihat dari beberapa pengaruh, diantaranya:
1) Pengaruh Antara Kerja Sama (teamwork) Dengan Kepuasan
Karyawan. Greenberd dan Baron (2003)
menyatakan bahwa team adalah suatu kelompok yang anggotanya memiliki keahlian
yang saling melengkapi dan masing-masing berkomitmen kepada tujuan yang sama
(Siehoyono, 2004). Kerja sama yang saling menguntungkan dan mendukung dalam
suatu organisasi, akan menimbulkan kepuasan tersendiri pada anggota kelompok
itu sendiri. Dari studi yang dilakukan oleh Loveman (1998) terhadap bank retail
disimpulkan bahwa kerja sama adalah salah satu faktor yang memberi kontribusi
atas kepuasan karyawan selain kualitas perusahaan, penghargaan dan fokus
konsumen. Kesimpulan ini juga didukung pernyataan dari Heinhuis et al.,(1998).
2) Pengaruh Antara Kesesuaian Terhadap Pekerjaan
(employee job fit) Dengan Kepuasan Karyawan.Advantage
Hiring, Inc mendefinisikan kesesuaian kerja sebagai karakteristik dari
lingkungan kerja (Mozkowitz, Get “FIT” to reduce turnover, n.d.). Menurut
O’Reilly, Chatman, & Caldwell (1991), tujuan perusahaan yang menyatu kepada
tujuan karyawan secara perorangan akan menjadikan karyawan merasa sayang untuk
pergi (Mozkowitz, Get “FIT” to reduce turnover, n.d.). Namun sebaliknya,
karyawan yang merasa tidak cocok dengan tujuan perusahaan cenderung tidak puas
dan meninggalkan perusahaan (Lovelace dan Rosen, 1996). Semakin tinggi kesesuaian
terhadap pekerjaan, maka akan semakin kecil penyimpangan terhadap performa
kerja.
3) Pengaruh Antara Kesesuaian Terhadap Teknologi
(technology job fit) Dengan Kepuasan Karyawan.Kesesuaian terhadap teknologi berkaitan dengan
ketepatan terhadap alat atau teknologi yang digunakan dalam bekerja. Penelitian
menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat antara technology job fit dengan
employee satisfaction (Corbet et al., 1989). Dengan kata lain, penggunaan
teknologi yang sesuai akan menjadikan pekerjaan tersebut efisien dan
menimbulkan rasa puas dalam diri karyawan. Semakin tinggi kesesuaian terhadap
teknologi, maka akan semakin besar komitmen pada perusahaan.
4) Pengaruh Antara Kemampuan Kontrol Diri (perceived
control) Dengan Kepuasan Karyawan →
Kemampuan kontrol diri mewakili hubungan antara reaksi individu terhadap
tekanan dan kemampuan untuk mengendalikan situasi tersebut (Zeithaml et al.,
1991). Menurut Averill (1973, dikutip dari Zeithaml et al., 1991) ada 3 bentuk
kontrol yaitu: (1) kontrol perilaku yaitu kemampuan untuk memberi respon yang
mempengaruhi situasi yang mengancam; (2) kontol kognitif yaitu kemampuan untuk
mengurangi tekanan sesuai informasi yang diproses, dan (3) kontrol keputusan
melibatkan seleksi atau pemilihan tujuan. Semakin tinggi kemampuan kontrol
diri, maka akan semakin besar komitmen pada perusahaan.
5) Pengaruh Antara Sistem Pengontrolan Pengawasan
(supervisory control system) Dengan Kepuasan Karyawan. Definisi sistem pengontrolan pengawasan adalah
untuk menentukan aktivitas mengawasi karyawan, selain itu juga mencakup
dukungan sosial (Zeithaml et al.,1991). Dalam kondisi yang sederhana, sistem
pengontrolan pengawasan merujuk pada tingkat dimana perilaku karyawan di
evaluasi lebih dibandingkan kuantitas output. Menurut Butler (1999), pengawasan
mempunyai peran penting dalm mengkoordinasikan kerja sama diantara karyawan
(kesatuan grup dapat didukung dengan efisiensi oleh para manajer). Semakin baik
system pengontrolan pengawasan, maka akan semakin tinggi kerjasama dan
kepercayaan karyawan terhadap manajer (Siehoyono, 2004).
6) Pengaruh Antara Konflik Peran (role conflict) Dengan
Kepuasan Karyawan. Ketika individu
dihadapkan pada peran yang menyimpang dari harapan, hasilnya adalah konflik
peran (Robbins, 1996). Konflik peran adalah suatu situasi yang terjadi jika
sesorang diharapkan untuk memerankan dua peran yang bertentangan. Perubahan
yang sering terjadi terhadap lokasi kerja, jumlah staff pendukung dan
tanggungjawab pengawasan diidentifikasikan oleh Kahn et al., (1964) sebegai
penyebab adanya konflik yang salah satunya adalah konflik peran (role
conflict). Konflik yang tidak kunjung terselesaikan akan mempengaruhi performa
kerja (Bernard & White, 1986), dan konsekuensinya adalah penurunan kepuasan
kerja (Kahn et al., 1964). sebegai penyebab adanya konflik yang salah satunya
adalah konflik peran (role conflict). Konflik yang tidak kunjung terselesaikan
akan mempengaruhi performa kerja (Bernard & White, 1986), dan
konsekuensinya adalah penurunan kepuasan kerja (Kahn et al., 1964).
7) Pengaruh Antara Ambiguitas Peran (role ambiguity)
Dengan Kepuasan Karyawan.
Ambiguitas peran dalam perspektif karyawan oleh Mills dan Margulies mengacu secara khusus kepada situasi yang tidak jelas mengenai bagaimana menjalankan peran dalam organisasi. Ambiguitas peran dihasilkan dari ketidakpastian seseorang tentang harapan mereka dari pekerjaan yang diberikan (Werther dan Davis, 1996). Penelitian yang dilakukan oleh Kahn et al., (1964), menyatakan bahwa peran dalam organsasi yang perkembangannya terus berubah akan menimbulkan ketidakjelasan peran karena ekspektasi yang ada juga sering berubah. Ketidakmampuan dalam menghadapi ambiguitas peran merupakan salah satu penyebab tekanan dalam bekerja (Rizzo et al., 1970), dan juga berpengaruh pada penurunan kepuasan kerja karyawan (Fisher & Gitelson, 1983; Jackson & Schuler, 1985; Lamble, kepuasan kerja karyawan 1980, Igbaria & Guimaraes, 1993 dikutip dari Chambers, Moore & Bachtel, n.d.).
Ambiguitas peran dalam perspektif karyawan oleh Mills dan Margulies mengacu secara khusus kepada situasi yang tidak jelas mengenai bagaimana menjalankan peran dalam organisasi. Ambiguitas peran dihasilkan dari ketidakpastian seseorang tentang harapan mereka dari pekerjaan yang diberikan (Werther dan Davis, 1996). Penelitian yang dilakukan oleh Kahn et al., (1964), menyatakan bahwa peran dalam organsasi yang perkembangannya terus berubah akan menimbulkan ketidakjelasan peran karena ekspektasi yang ada juga sering berubah. Ketidakmampuan dalam menghadapi ambiguitas peran merupakan salah satu penyebab tekanan dalam bekerja (Rizzo et al., 1970), dan juga berpengaruh pada penurunan kepuasan kerja karyawan (Fisher & Gitelson, 1983; Jackson & Schuler, 1985; Lamble, kepuasan kerja karyawan 1980, Igbaria & Guimaraes, 1993 dikutip dari Chambers, Moore & Bachtel, n.d.).
v
Hubungan antara tipe
perilaku dengan kepuasan kerja
Setiap manusia selalu menunjukkan tipe perilaku yang
berbeda antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Oleh karena itu
manusia dikatakan sebagai makhluk yang memiliki keunikan tersendiri. Tipe
perilaku merupakan deskripsi tentang penampilan individu dalam melakukan
berbagai aktivitas kehidupannya sehari-hari, termasuk penampilan seorang
karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya. Tipe perilaku ini dibedakan atas 2
tipe, yaitu tipe perilaku A dan tipe perilaku B. Tipe perilaku A digambarkan
sebagai seorang karyawan yang secara kontinu berjuang untuk mendapatkan terlalu
banyak dalam melaksanakan pekerjaan mereka, dalam waktu yang terlalu sedikit
ataupun dengan melewati terlalu banyak hambatan pada saat mereka melaksanakan
pekerjaannya.
Karyawan yang memiliki tipe perilaku A rentan terhadap gangguan koroner. Akibat efek genetik ataupun efek-efek pengalaman terdahulu seorang karyawan, karyawan dengan tipe perilaku A akan menunjukkan respons susunan saraf otonom yang berlebihan secara tidak normal dalam keadaan terancam. Adanya ketergesaan persaingan serta peningkatan stres yang menyertainya akan meningkatkan aktivitas saraf simpatis dan memberikan kontribusi bagi kemungkinan timbulnya penyakit jantung koroner. Dengan demikian seorang karyawan yang mempunyai tipe perilaku A lebih banyak mengalami kesulitan dalam bekerja. Keadaan ini menyebabkan timbulnya rasa ketidak puasan di dalam bekerja.
Sedangkan karyawan yang memiliki tipe perilaku B adalah mereka yang tidak memiliki karakteristik seperti yang terlihat pada tipe perilaku A. Orang yang memiliki tipe perilaku B tidak mudah terkena stres, lebih mudah dalam menjalani kehidupannya, memiliki ketenangan dan tidak tergesa-gesa dalam melakukan suatu pekerjaan. Dengan demikian seorang karyawan yang tidak memiliki tipe perilaku B tidak rentan terhadap gangguan koroner, sehingga pekerjaan yang dilakukan lebih memberikan kepuasan dalam bekerja. Salah satu faktor yang mendorong timbulnya kepuasan kerja seorang karyawan adalah kepribadian yang ditampilkan atau tampak melalui tipe perilaku yang ditampilkan oleh seorang karyawan pada saat melakukan pekerjaannya. Dari uraian di atas, maka dapat diduga terdapat hubungan positif antara tipe perilaku dengan kepuasan kerja karyawan. Makin kuat tipe perilaku B yang ditampilkan seorang karyawan dalam menghadapi berbagai tekanan, ancaman dan hambatan dalam melaksanakan tugas pekerjaannya maka makin puas karyawan dalam bekerja.
v
Hubungan antara
pemenuhan harapan penggajian dengan kepuasan kerja
Manusia bekerja mempunyai tujuan, antara lain untuk mendapatkan penghasilan agar kebutuhan dan keinginannya dapat terpenuhi dengan baik. Kepuasan kerja adalah respons umum karyawan berupa perilaku yang ditampilkan oleh karyawan sebagai hasil persepsi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya. Dengan kata lain kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan karyawan tentang hal menyenangkan atau tidak menyenangkan pekerjaan yang dilakukan, baik didasarkan atas imbalan material maupun psikologis.
Seorang karyawan akan mendapat kepuasan kerja jika ia mempersepsikan bahwa imbalan yang diterima baik berupa gaji, insentif, tunjangan dan penghargaan lainnya yang tidak berbentuk materi atas pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan nilainya lebih tinggi daripada pengorbanannya berupa tenaga dan ongkos yang telah dikeluarkan untuk melakukan pekerjaan itu. Kelebihan yang didapat masih cukup untuk dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup diri keluarga (bagi yang telah berkeluarga) serta kebutuhan lain. Kepuasan kerja akan didapat jika ada kesesuaian antara harapan penggajian karyawan dengan besarnya imbalan yang diterima, baik yang berupa materi maupun non materi.
Dari uraian di atas, dapat diduga terdapat hubungan antara pemenuhan harapan penggajian karyawan dengan kepuasan kerja karyawan tersebut. Artinya, makin sesuai pelaksanaan penggajian dengan harapan karyawan yang didasarkan atas kebutuhan minimalnya, makin besar kepuasan kerjanya.
E.
MENCEGAH DAN MENGATASI KETIDAKPUASAAN KERJA
Banyak cara untuk mengatasi serta mencegah
ketidakpuasaan kerja, dari uraian yang telah ada kita dapat menggambarkan
bahwasannya arti seorang karyawan dalam suatu perusahaan maupun institusi
merupakan penting artinya bagi kelangsungan dan perkembangan perusahaan
tersebut. Maka untuk mengindari adanya ketidakpuasan kerja yang dialami
karyawan, para supervise, manajer, maupun pimpinan harus mempunyai kepekaan
terhadap kebutuhan-kebutuhan karyawan baik psikologisnya maupun materi yang
dapat mengurangi atau bahkan mencegah terjadinya ketidakpuasan kerja. Jangan
sampai terjadi seperti kasus yang telah diuraikan.
v
Menurut Model Theory
of Work Adjustment terdapat 20 dimensi yang menjelaskan 20 kebutuhan elemen
atau kondisi penguat spesifik yang penting dalam menciptakan kepuasan kerja.
Dimensi-dimensi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
· Ability Utilization adalah pemanfaatan kecakapan yang
dimiliki oleh karyawan.
· Achievement adalah prestasi yang dicapai selama bekerja.
· Activity adalah segala macam bentuk aktivitas yang
dilakukan dalam bekerja.
· Advancement adalah kemajuan atau perkembangan yang
dicapai selama bekerja.
· Authority adalah wewenang yang dimiliki dalam
melakukan pekerjaan.
· Company Policies and Practices adalah kebijakan yang
dilakukan adil bagi karyawan.
· Compensation adalah segala macam bentuk kompensasi
yang diberikan kepada para karyawan
· Co-workers adalah rekan sekerja yang terlibat langsung
dalam pekerjaan.
· Creativity adalah kreatifitas yang dapat dilakukan
dalam melakukan pekerjaan.
· Independence adalah
kemandirian yang dimiliki karyawan dalam bekerja.
· Moral values adalah nilai-nilai moral yang dimiliki
karyawan dalam melakukan pekerjaannya seperti rasa bersalah atau terpaksa.
· Recognition adalah pengakuan atas pekerjaan yang
dilakukan.
· Responsibility, tanggung jawab yang diemban dan
dimiliki.
· Security, rasa aman yang dirasakan karyawan terhadap
lingkungan kerjanya.
· Social Service adalah perasaan sosial karyawan
terhadap lingkungan kerjanya.
· Social Status adalah derajat sosial dan harga diri
yang dirasakan akibat dari pekerjaan.
· Supervision-Human Relations adalah dukungan yang
diberikan oleh badan usaha terhadap pekerjanya.
· Supervision-Technical adalah bimbingan dan bantuan
teknis yang diberikan atasan kepada karyawan.
· Variety adalah variasi yang dapat dilakukan karyawan
dalam melakukan pekerjaannya.
· Working Conditions, keadaan tempat kerja dimana
karyawan melakukan pekerjaannya.
v
Menurut Jewell dan
Siegall (1998) beberapa aspek dalam mengukur kepuasaan kerja:
a) Aspek psikologis, berhubungan dengan kejiwaan
karyawan meliputi minat, ketentraman kerja, sikap terhadap kerja, bakat dan
ketrampilan.
b) Aspek sosial, berhubungan dengan interaksi
sosial, baik antar sesama karyawan dengan atasan maupun antar karyawan yang
berbeda jenis kerjanya serta hubungan dengan anggota keluarga.
c) Aspek fisik, berhubungan dengan kondisi fisik
lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan,
pengaturan waktu kerja, pengaturan waktu istirahat, keadaan ruangan, suhu
udara, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan dan umur.
v
Terdapat empat cara
mengungkapkan ketidakpuasan karyawan, (p. 205):
a) Keluar
(Exit): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan meninggalkan pekerjaan.
Termasuk mencari pekerjaan lain.
b) Menyuarakan
(Voice): Ketidakpuasan kerja yang diungkap melalui usaha aktif dan konstruktif
untuk memperbaiki kondisi termasuk memberikan saran perbaikan, mendiskusikan
masalah dengan atasannya.
c) Mengabaikan
(Neglect): Kepuasan kerja yang diungkapkan melalui sikap membiarkan keadaan
menjadi lebih buruk, termasuk misalnya sering absen atau datang terlambat,
upaya berkurang, kesalahan yang dibuat makin banyak.
d) Kesetiaan
(Loyalty): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan menunggu secara pasif
sampai kondisinya menjadi lebih baik, termasuk membela perusahaan terhadap
kritik dari luar dan percaya bahwa organisasi dan manajemen akan melakukan hal yang tepat untuk memperbaiki
kondisi.
e) Kesehatan
: Meskipun jelas bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan kesehatan, hubungan
kausalnya masih tidak jelas. Diduga bahwa kepuasan kerja menunjang tingkat dari
fungsi fisik mental dan kepuasan sendiri merupakan tanda dari kesehatan.
Tingkat dari kepuasan kerja dan kesehatan mungkin saling mengukuhkan sehingga
peningkatan dari yang satu dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya
penurunan yang satu mempunyai akibat yang negatif.
v
Cara lainnya untuk
mencegah terjadinya ketidakpuasan kerja pada karyawan adalah dengan melihat apa
saja yang menjadi elemen atau aspek-aspek pendukung dalam sikap kerja. Menurut
Osada (2000), aspek-aspek yang mendukung sikap kerja karyawan dibagi menjadi 5
hal penting. Tujuannya, untuk menciptakan suatu sikap kerja yang sesuai
kebiasaan yang baik dan perilaku yang baik sehingga karyawan dapat bekerja
dengan lancar dan mematuhi peraturan.
Lima aspek tersebut, diantaranya :
a) Pemilahan
(seiri) → Pemilahan berarti memilah segala sesuatu dengan aturan atau prinsip
tertentu. Langkah yang harus ditempuh adalah membagi segala sesuatu ke dalam
kelompok sesuai dengan urutan kepentingannya dan membaginya dengan memutuskan
mana yang penting dan mana yang sangat penting. Pemilahan merupakan dasar dari
sikap kerja.
b) Penataan
(seiton) → Penataan bertujuan untuk menghilangkan proses pencarian. Yang
diutamakan adalah penghapusan proses pencarian dan manajemen fungsional dengan
cara mendasarkan pada seberapa banyak yang bisa disimpan dalam pikir/otak dan
bertindak dengan cepat.
c) Pembersihan
(seiso) → Pembersihan merupakan salah satu bentuk pemeriksaan. Yang diutamakan
dalam pembersihan adalah pemeriksaan terhadap tindakan yang dilakukan dan
menciptakan sikap kerja yang tidak memiliki cacat ataupun cela. Prinsipnya
adalah pemeriksaan dan tingkat kebersihan.
d) Pemantapan
(seiketsu) → Pemantapan berarti terus menerus dan secara berulang-ulang
memelihara pemilahan, penataan dan pembersihannya.. Prinsip dari pemantapan
adalah inovasi dan manajemen diri untuk mencapai dan memelihara kondisi yang
sudah dimantapkan sehingga dapat bertindak dengan cepat.
e) Pembiasaan
(shitsuke) → Pembiasaan berarti menanamkan kemampuan untuk melakukan sesuatu
dengan cara yang benar. Prinsip yang digunakan adalah menciptakan suatu sikap
kerja yang sesuai lewat kebiasaan dan perilaku yang baik sehingga nantinya
karyawan dapat bekerja dengan baik dan mematuhi peraturan.
KESIMPULAN
Kepuasan kerja penting untuk
aktualisasi, karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah
mencapai kematangan psikologis, dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Hubungannya
dapat dilihat dari beberapa pengaruh yang kemungkinan besar berada pada
lingkungan karyawan tersebut. Untuk menghindari adanya ketidakpuasan kerja yang
dialami karyawan, pimpinan harus mempunyai kepekaan terhadap
kebutuhan-kebutuhan karyawan baik psikologisnya maupun materi yang dapat
mengurangi atau bahkan mencegah terjadinya ketidakpuasan kerja.
DAFTAR
PUSTAKA
Sunyoto Munandar, Ashar.(2001).Psikologi Industri dan
Organisasi.Jakarta: Universitas Indonesia.
http://www.masbow.com/2009/11/loyalitas-kerja.html
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2007/11/hubungan-kepemimpinan-dengan-kepuasan.html